Fatamorgana
Di tempat yang seharusnya menjadi istana
Di ruang yang katanya surga dunia
Di tanah awal dari pelukan diterima
Istana indah yang nyatanya fana
Surga ialah ilusi yang tak terduga,
Serta
Pelukan yang tak lebih sekedar fatamorgana
Terjerat dalam luka yang nyata
Tergores kata setiap masa
Derai mata meluncur tanpa warna
Terpendam dalam hati yang telah mati rasa
Lengkungan manis hadir meski tanpa rasa
Mengenakan topeng besi dengan paksa
Teriakan yang teredam akan tawa
Curahan yang tak pernah didengar manusia
Luka
Harapan yang terlanjur terbang tinggi.
Sayap yang terlanjur pergi membawa hati.
Serta mata yang terus menangisi.
Perlahan namun pasti.
Kehancuran yang tak pernah dinanti.
Tentang robohnya keteguhan hati.
Kesakitan akan asa yang berujung semu.
Kerinduan yang tak akan menemui temu.
Serta tangisan yang hanya untukmu.
Jeritan hati yang tak didengarkan.
Rindu yang tak pernah kau hiraukan.
Serta harapan semu yang menjadi teman.
Sendiri
Senyuman hadir bersama derai yang meluncur pergi.
Hangat menghampiri bersama darah yang membasahi diri.
Lentera yang berasal dari hati yang sunyi.
Sendiri…
Membangunkan euphoria dalam diri.
Mengikat tawa agar tak pernah pergi.
Menciptakan tameng dari patahnya hati.
Sendiri…
Mengumpat bintang yang terlihat menemani.
Tertawa melihat pekat yang tersembunyi.
Geram yang tersembunyi di indahnya pelangi.
Sendiri…
Menatap langit fajar yang nyatanya malam.
Bersama perubahan yang tak dinanti.
Juga dinding berduri yang kini menjaga hati.
Terikat
Panas mentari yang menghangatkan.
Sinar putih bulan yang mendamaikan.
Sayangnya hadir dengan keinginan yang tak terbantahkan.
Mengikat raga dengan pita berduri.
Menghimpit hati dalam ruang mimpi.
Memaksa mengikuti sang matahari.
Gejolak yang selalu berseberangan.
Ingin yang selalu bertolak belakang.
Angan yang tak pernah diizinkan.
Memaksa tuk mengenakan topeng besi.
Mengunci hati dalam ruang tak tercapai.
Mengambil alih pikiran dari raga yang kehilangan mimpi.
This Post Has One Comment
Feri Setyawan
17 Jun 2019Keren abis