Karya Ika Dwi Meilani
Pagi cerah menghiasi, mewarnai dua minggu kelahiran adikku. Suara tangis memecahkan keheningan kala itu. Tampak di depan kamar sosok lembut sedang terbaring lemah, entah kenapa? Ada apa ini? Pikirku tak tenang. Saat kuhampiri mata sayu, wajah pucat terpampang jelas olehnya. Itu ibuku, sosok wanita tegas menghadapi masalah, wanita kuat yang tak lengah dalam menjaga dan mengurus empat anaknya. Suatu hari tangis bayi kecil adikku terus menerkam suasana. Ketika itu juga sosok tangguh ayahku menanganinya, dengan menggendong adikku dan memasang wajah kebingungan.
“Ayah, mengapa engkau kelihatan sangat gelisah?” tanyaku.
“Lihat (mengarah pada adikku), dari tadi menangis dipelukan ibumu,” jawab ayah.
Dengan kesigapan ayahku, dipindahkan adikku ke ruang tamu berjauhan dengan ibuku. Seketika itu pula adikku langsung diam bahkan memberi bulan tidur pada wajahnya. Memberi kesan tersendiri bagiku yang kala itu menemaninya. Ayahku terheran-heran melihat ekspresinya. Mengapa begitu? Di pelukan ibu sendiri menangis, dijauhkan langsung diam, ujar ayahku.
“Berikan susu botol itu pada adikmu,” ujar lelaki tangguh itu.
Sebenarnya aku tak pantas memberikan susu botol pada bayi berumur 2 minggu tapi tak ada cara lain untuk ia menyusu karena tak bisa menyusu pada ibu. Senyum indah terlihat di bibirnya kala aku menggodanya dengan sebuah mainan sederhana. Sementara itu, aku tak tahu bagaimana keadaan ibu di kamar tempat adikku dilahirkan. Entah baik? atau malah sebaliknya? Semoga tak terjadi hal yang bisa saja membuat relung hati ini terluka.
Kemudian tetangga sebelah rumahku datang menghampiri. Mungkin terdengar tangis bayi kecil, “Owek..owek..owekk” karena mengompol. Dengan segera Bu Halimah tetanggaku ini menggantikan popok adikku karena saat itu aku masih berumur 8 tahun dan tak mengerti perihal bayi kecil.
“Bu Halimah pulang dulu ya, Nduk, jaga adikmu dengan baik,” kata tetanggaku.
“Iya, silakan. Terima kasih, Bu,” balasku.
Selepas itu keadaan ibu semakin memburuk.
“Yah, ibu pusing,” ujar ibuku dengan nada merintih.
“Ya sudah tidur saja dulu,” jawab ayah sambil menggendong adikku.
Kemudian untuk yang kedua kalinya, adikku didekatkan pada ibu dengan maksud baik supaya adikku diberi ASI agar pertumbuhan adikku semakin baik. Tetapi adikku menunjukkan penolakan yang sama. Ada apa ini? Kenapa adikku menangis? Tanyaku dalam hati. Kegelisahan sama kutunjukkan seperti halnya ayah yang sangat gelisah. Dengan sigap ayahku keluar ingin meminjam mobil tetangga dan membawa ibuku ke rumah sakit. Tepatnya di Rumah Sakit Aisyiyah Malang. Tiba-tiba tetangga berdatangan ingin melihat keadaan ibuku dan adikku dipindahkan ke rumah tetangga. Harap-harap cemas tampak di semua raut wajah tetanggaku termasuk aku pula sambil menunggu kabar dari ayahku.
Tak lama kemudian datanglah kabar dari ayahku bahwa ….? Tapi yang pasti aku mendengar kabar itu dari mulut tetanggaku bahwa hal yang paling aku takutkan terjadi. Tak tahu apa? Aku hanya terdiam, terpaku mendengar pernyataan itu. Pernyataan tersebut bagai petir menghantam sebuah pohon yang tiada henti. Kutumpahkan semua rasa kekesalan, kepedihan, dan kemarahan dalam air hujan yang kuproduksi sendiri.
~ ~
Selepas itu, aku berlari ingin menjemput kakak yang sedang sekolah dan tepat saat itu kakakku sedang berjalan pulang. Dengan napas terhenga-henga dan air hujan yang terus keluar dari mesinnya.
“Kenapa? Ada apa?” tanya kakak padaku yang kebingungan.
“Ibu, Kak, ibu…..,” ujar adiknya.
Dengan terbata-bata aku menyampaikan berita ini kepada kakakku dan kondisi mulut bagai patung arca kaku tak sewajarnya, aku memaksakannya. Menahan tangis yang tiada henti bahwa hal yang menakutkan itu adalah bak ditelan bumi hilang tanpa jejak. Ibuku meninggalkanku dan semua keluarganya yang sangat membutuhkan sosok wanita tegar dalam mengurus rumah tangga. Di tengah itu pula, air hujan terus mengalir pada kedua mesin kakak beradik. Entah dapat tertampung apa tidak karena seketika itu jiwaku terasa lenyap dari bumi. Aku seperti melayang tanpa arah dan tanpa petunjuk.
~ ~
Jam dinding menunjukkan pukul 13:30. Ayahku tiba-tiba datang dengan keadaan wajah yang suntuk dan bingung. Tak sampai 1 menit kedatangan ayahku, terdengar suara seperti pengumuman dari masjid dekat rumahku, “Innalillahi wainnalillahiraji’un 3× telah meninggal istri dari P. Ahmad yaitu Bu Likah pada … …”. Detak jantungku seperti berhenti sepersekian detik kala mendengar perkataan tersebut.
“Pukul 15:00, ambulans datang mengantar ibu,” ujar ayahku.
“Iya, disiapkan saja peralatan untuk mandinya yah,” jawabku.
Tanpa kusadari waktu berjalan cepat, jam dinding menunjukkan pukul 14:45. Tak lama suara ambulans terdengar, “Uwii..Uwii…Uwii”, tepat berhenti di depan rumahku. Aku hanya terdiam mendengar mobil putih berlampu merah biru di atasnya, dan bertuliskan “Ambulance Jenazah”. Tanpa satu kedipan mata, aku tak lengah dalam melihat satu gerakan di mesin bergerak itu. Ketika dibuka tampak pertama kain hitam menyelimuti pembaringan seorang wanita tangguh, ibuku. Tak lama setelah itu, gemericik air bersama bunga-bunga jatuh di tubuh wanita itu, membersihkan tubuhnya sampai tak ada satu kotoran pun. Beliau suci, beliau siap, dan tampak di depanku terlewati sosok wanita berarti dalam setiap jari jemari menari di kertas putih bertuliskan A B C D E. Dalam benakku berkata, “Pucat sekali ibuku.”
~ ~
Beberapa jam setelah itu, proses pemakaman akan dilakukan setelah pemandian dan pengafanan. Aku tak bisa menyaksikan proses pemakaman karena air mata terus mengalir dari mesinnya. Sulit untukku bayangkan, bagaimana kehidupan kedepannya jika tak ada seorang wanita yang mengurusku. Entah akan berjalan seperti biasanya atau malah berubah? Ke depannya tanpa seorang ibu yang selalu memberikan semangat kala aku hampir putus asa. Kini tak ada lagi seorang wanita tangguh yang mengajari arti dari kehidupan. Aku tahu, kehidupan di dunia hanyalah sementara tapi apakah harus secepat ini? Delapan tahun aku merasakan kasih sayangnya, delapan tahun aku bersamanya, dan kini delapan tahun itu hanya kenangan belaka yang tak mungkin bisa terulang.
Hari demi hari kulewati, 3 hari, 7 hari bahkan 40 harinya. Tak kusadari waktu begitu cepat berlalu, dan aku harus melanjutkan kehidupan ini meskipun kini suasana tlah berbeda. Seperti makanan yang kurang garam, suasana rumah ini tak lagi berwarna. Meskipun begitu, ini kehidupanku ada tidaknya seorang ibu aku harus berjuang meraih cita-cita, membanggakan ayah dan ibuku. Ayah dan ibuku adalah seorang pilot dan pramugari yang harus bekerja sama dalam menjalankan suatu bidang. Pesawat tidak akan berjalan tanpa seorang pilot, begitupun suatu rumah tangga pasti ada satu kejanggalan yang tak biasa dimana seorang ayah harus menjadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk. Tapi itu semua adalah rencana tuhan yang harus kita jalani dengan ikhlas begitupun aku, ikhlas dalam menjalani roda berputar meskipun roda itu tak menggelinding dengan sempurna. Dalam kehidupan pastinya tidak akan berjalan selalu lancar, ada kalanya masalah akan datang. Itu dinamakan warna warni kehidupan.
~ ~
Hari terus berlanjut, waktu terus berputar. Kini kusemakin dewasa dan hati ini semakin mengikhlaskan kepergian wanita itu. Pergi jauh, dan tak akan kembali. Hatiku semakin tertata, membiasakan diri bersama seorang lelaki tangguh ayahku. Mungkin tak sesempurna ibuku tapi ayahku berusaha mencoba melakukan itu supaya aku merasa nyaman meskipun tak ada seorang ibu. Kini ku telah bahagia bersama ayahku yang selalu memberikan motivasi, dukungan serta semangat. Selalu menasihati supaya aku menjadi orang yang sukses di kemudian hari. Memberi semangat agar aku tak pantang menyerah menghadapi suatu masalah. Dukungannya pun selalu terasa pada setiap langkahku. “Ayo! Kalahkan orang-orang di sana, agar kamu menjadi orang sukses!” Itulah dukungan yang selalu beliau katakan padaku. Kata-kata itu selalu tersimpan dalam benakku, tak terpikir olehku untuk menghapus ultimatum itu.
~ Sekian ~