Rangkaian acara Cangkrukan Bung Tomo dan Penganugerahan Lulusan Berprestasi SMA Nasional Malang (SMANAS) masih berlanjut. Kali ini, SMANAS diundang oleh stasiun televisi, JTV, untuk hadir dalam program Bincang-Bincang. Dalam program yang disiarkan secara langsung pada Jumat (30/10) tersebut, Drs. Rusdi, M.Si. menjelaskan beragam hal tentang SMANAS.
Di awal sesi, Mbak Iva Amora yang merupakan pembawa acara bertanya tentang topik cangkrukan yang dipilih. “Karena kami ingin bersama, pimpinan dan siswa itu setara,” ungkap Pak Rusdi. Selain itu, acara Cangkrukan Bung Tomo yang digelar di sekolah pada Rabu (28/10) lalu, juga sebagai tasyakuran karena tahun 2020, 89,09% lulusan SMANAS dapat diterima di perguruan tinggi negeri.
Pak Rusdi menjelaskan sekilas tentang sejarah SMANAS yang berdiri sejak 1983. Kemudian, dalam perjalanannya, SMANAS mengalami berbagai hal hingga pada 2012, jumlah siswa hanya 14 anak. Dengan kondisi yang demikian, Pak Rusdi diangkat menjadi kepala sekolah. Beliau pun belajar ke berbagai tempat, lalu melakukan perubahan ekstrem: SPP dan uang gedung naik 300%, siswa masuk harus dites dengan nilai minimal 75, dan siswa tidak masuk tanpa keterangan lebih dari tiga hari dikeluarkan. Hal tersebut menimbulkan banyak pertentangan. Namun, dengan keyakinan beliau menjalankan kebijakan tersebut dan berhasil meningkat. “Hingga tahun kemarin, pendaftar di sekolah kami mencapai 639 siswa,” ungkap beliau.
Dalam program Bincang-Bincang tersebut, Pak Rusdi tidak sendiri. Beliau ditemani dua lulusan berprestasi SMANAS, yaitu Choir Ebi Dwi Aditia dan Dimas Al Hafid. Mbak Iva menanyakan pada dua lulusan tersebut, kenapa dahulu memilih SMANAS. Choir yang merupakan mahasiswa di Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) Bekasi itu mengaku, awalnya dia ragu. “Tapi, saya memaksakan diri untuk masuk dan ternyata menemukan tausiah setiap hari yang dapat membangun keyakinan saya untuk sukses,” papar alumni yang juga pernah diterima di Universitas Negeri Surabaya (UNESA) tersebut.
Berbeda dengan Choir, Dimas yang merupakan lulusan 2020 itu mengaku awalnya sudah hampir putus sekolah karena tidak menemukan sekolah yang memahaminya. “SMANAS ternyata mampu memahami bahwa kesukaan saya adalah perdalangan, bukan matematika,” terang alumni yang sekarang menjadi mahasiswa di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta itu sambil tersenyum. Menanggapi hal tersebut, Pak Rusdi menjelaskan bahwa setiap anak dilahirkan dengan fitrahnya masing-masing. “Kesalahan kita selama ini, kalau anak tidak bisa Matematika, kita leskan Matematika. Padahal seharusnya kita bisa menggali potensi dan mengembangkannya,” tutur Ketua MKKS Swasta Kota Malang tersebut.
Beliau menuturkan, ada kalanya sekolah harus berdamai dengan keadaan. “Kadang kita berpikir mainstream, sekolah itu dari jam 7 sampai jam sekian, anak pelajaran di kelas,” tutur Pak Rusdi, “Padahal, anak voli main di lapangan, dalang sedang manggung, itu juga merupakan sekolah karena di sana mereka sedang belajar,” terangnya.
Terkait topik cangkrukan, Mbak Iva juga menanyakan apakah Pak Rusdi suka cangkrukan. Beliau menjelaskan bahwa beliau bukanlah orang yang betah di kantor. “Di sela-sela waktu, saya suka menghampiri anak-anak, guru, bahkan tukang sapu,” ungkap beliau. Menurut beliau, pemimpin seharusnya tidak membuat jarak dengan bawahan. “Karena jika hendak mengambil kebijakan, kita harus bottom up, mendengar suara-suara di bawah. Kebijakan harus sesuai stakeholder. Pimpinan harus mengapresiasi yang di bawah agar para siswa bisa berkata, ‘Aku banget,” terang beliau.
Tidak hanya memiliki grup WhatsApp dengan para siswa, Kepala SMANAS kelahiran Sumenep tersebut juga sering chat pribadi dengan siswa, baik melalui WhatsApp, Instagram, maupun Facebook. “Kami sering bicara dari hati ke hati, bahkan anak sering curhat putus dengan pacarnya,” ujar beliau. Selain itu, beliau sering menekankan agar para siswa tidak cengeng dan pantang menyerah. “Saya sering bilang, gagal itu biasa. Kalian akan hebat jika jatuh 100 kali, tetapi bangkit 101 kali,” tegas Pak Rusdi.
Hal tersebut dikuatkan oleh Choir dan Dimas. Choir mengaku bangga ketika menjadi siswa SMANAS karena sering diberi wejangan khusus, sesuai dengan kondisinya. Demikian pula dengan Dimas. Dia juga merasa bangga karena memiliki sosok kepala sekolah yang seperti teman, bisa curhat segala hal.
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan dari Mbak Iva. “Nah, siswa SMA Nasional tidak hanya satu atau dua siswa, tetapi ratusan. Bagaimana cara mengayomi ratusan siswa?” ujar Mbak Iva. Kepala SMANAS yang berusia 54 pada bulan lalu itu menjelaskan, setiap pagi beliau selalu berbicara lima belas menit dari center. “Sering saya sampaikan, ada tiga kemampuan dasar manusia, yaitu knowledge, skill, dan attitude,” ungkapnya. Penelitian menunjukkan bahwa dalam kesuksesan seseorang knowledge sebesar 20%, skill 30%, dan yang paling berpengaruh sebesar 50% adalah attitude, berupa sikap dan kemauan.
Pak Rusdi menyebutkan bahwa siswa SMANAS banyak yang yatim, piatu, dan berasal dari keluarga tidak mampu. Sering kali para siswa ingin kuliah, tapi orang tua tidak mau. Namun, sekolah selalu mengusahakan beasiswa untuk anak-anak. “Saya sering bilang pada guru, jangan niat cari uang, biar saya yang memikirkan. Pikirkanlah di sini untuk ibadah dan menata attitude anak-anak agar tidak mudah putus asa dan yakin bahwa mereka bisa sukses,” terang Pak Rusdi.
Dalam sesi tanya-jawab, pertanyaan muncul dari Pak Budi yang berasa dari Kepanjen. Beliau menanyakan peranan sekolah dan cara untuk mendapat beasiswa. Pak Rusdi menjawab bahwa tugas sekolah itu menggali potensi. Setelah potensi sudah diketahui dan betul-betul sesuai, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi itu. Pada saat pengembangan itulah, peran sekolah, guru, dan lingkungan sangat penting. “Kami buat komunitas yang sesuai potensi masing-masing,” ujar beliau. Perihal beasiswa, Pak Rusdi menjelaskan, SPP di sekolah sebesar 300 – 500 ribu. Siswa yang kurang mampu, SPP sebesar 300 ribu. Kami menggandeng beberapa perusahaan, ada beasiswa 200 ribu sehingga siswa tinggal membayar 100 ribu.
Selain itu, ketika anak masuk SMANAS langsung ditanya, saat lulus akan kuliah atau tidak. Yang tidak kuliah, dimasukkan BLK Singosari dan Wonojati. Yang kuliah akan dicarikan donatur. “Alhamdulillah penghargaan-penghargaan yang kami peroleh sangat berpengaruh karena perusahaan sangat mengapresiasi penghargaan yang kami peroleh dari atas,” papar Pak Rusdi. Beliau juga menjelaskan, sering ada anak yatim dan anak tidak mampu yang tidak kuat membayar, lalu dibebaskan. Kadang ada pula ijazah yang tidak diambil karena tidak mampu membayar, pada akhirnya dibebaskan. “Sekolah bukan tempat berdagang. Kalau mencari untung, jangan mendirikan sekolah. Sekolah tidak akan bangkrut kalau memberikan kebebasan biaya untuk siswa miskin,” ungkap beliau.
Penanya berikutnya yaitu Pak Wildan dari Malang. Beliau menanyakan tentang tip bisa lolos perguruan tinggi negeri sebesar 89,09%. Pak Rusdi menjawab, guru harus membangun attitude siswa. Guru harus memompa kemauan anak untuk belajar. Guru tidak ditarget pelajaran, tetapi sikap dan kemauan siswa lebih diutamakan. “Jika guru hanya transfer ilmu, itu rugi, bisa dilakukan oleh google,” ujar beliau. Mendengar paparan tersebut, Mbak Iva mengaku sangat mengapresiasi karena Pak Rusdi tidak hanya pemimpin, tetapi juga membantu siapa pun dapat memperoleh pendidikan. “Itu sangat mulia dan luar biasa,” kata Mbak Iva.
Pada segmen terakhir, Mbak Iva menanyakan apakah SMANAS sudah menerapkan konsep merdeka belajar. Pak Rusdi pun menjelaskan bahwa konsep merdeka belajar sebenarnya adalah tidak memaksa anak untuk mempelajari hal yang tidak disukai. “Intinya, kita wajib mengikuti kelebihan siswa dan cara belajar yang sesuai dengan keinginan siswa serta guru mampu,” tegas beliau.
Sebelum menutup acara, Mbak Iva meminta agar narasumbernya memberikan pesan-pesan. “Untuk adik-adik, tekankan pada diri, yakin pasti kalian sukses meski dari keluarga tidak mampu. Allah pasti akan memberi jalan,” ungkap mahasiswa jurusan Perkeretaapian tersebut. Senada dengan Choir, Dimas menekankan untuk jangan menyekutukan Allah. “Allah pasti memberi,” tuturnya. Menutup semua pernyataan, Pak Rusdi menggarisbawahi bahwa lebih sulit mempertahankan daripada meraih. “Jadi, jangan diam, tapi teruslah bergerak, teruslah berinovasi, jangan mainstream, dan harus selalu ada perubahan,” pungkas beliau. (hm/bya)