Tentrem Fitriana berjalan memasuki gerbang SMA Nasional Malang (SMANAS). Hari itu, siswa X IPA 1 ini mengenakan seragam batik merah khas SMANAS, kerudung putih, dan rok putih. Banyak pula siswa lain yang berjalan di depan dan belakangnya dengan mengenakan seragam yang sama. Bedanya, yang laki-laki mengenakan celana. Dengan menggendong tas masing-masing yang berisi buku dan alat tulis, mereka berjalan menaiki tangga. Di lobi SMANAS, bapak dan ibu guru yang juga mengenakan batik berbaris rapi.
Tentrem dan siswa-siswi lain, satu per satu siswa meraih tangan bapak dan ibu guru. Tangan tersebut juga disambut baik dan dengan senyum oleh bapak dan ibu guru. Mereka bersalaman. Para siswa cium tangan kepada bapak dan ibu guru. Setelah itu, mereka berjalan menuju kelas masing-masing. Pemandangan seperti itu dapat dilihat setiap pagi di SMANAS. Budaya bersalaman dan cium tangan yang dilakukan oleh siswa SMANAS kepada bapak dan ibu guru sudah berlangsung sejak awal kepemimpinan Drs. Rusdi, M.Si. sebagai kepala sekolah.
Sekitar 2012, SMANAS terkenal sebagai sekolah terpuruk dan para siswanya tidak hormat kepada guru. Bahkan, guru tidak dianggap penting. Sejak tahun pertama menjabat, Pak Rusdi membudayakan bersalaman dengan guru serta tausiah pagi sebelum pelajaran. Beliau berpegang teguh pada ajaran agama, bahwa Tuhan meridai kesuksesan orang jika ada keridaan orang tua. “Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, yang disebut orang tua itu ada tiga kategori,” tutur kepala SMANAS yang juga mubalig itu. Tiga kategori tersebut, yaitu (1) orang yang melahirkan dan ada hubungan darah, (2) orang yang memelihara dan tidak ada hubungan darah, dan (3) orang yang membimbing ke jalan kebenaran. “Dalam kategori ketiga inilah guru dan ustaz termasuk di dalamnya,” kata Pak Rusdi.
Menurut Pak Rusdi, tiga orang tersebut tidak hanya makbul doa, tetapi juga dapat mendatangkan kebahagiaan. “Jika kita membahagiakan orang, akan ada tujuh malaikat mendoakan kita, orang yang menyebabkan orang lain bahagia,” ungkap laki-laki kelahiran Sumenep itu. Hal tersebut dirasakan oleh M.Fitra Aditia, siswa XII Bahasa. Adit mengaku, sebelum menjadi siswa SMANAS, baginya bersalaman sekadar sebagai tanda menghormati. Namun, saat menjadi siswa SMANAS, sang kepala sekolah menjelaskan bahwa bersalaman juga dapat melunturkan dosa. Sejak saat itu, Adit dengan suka rela bersalaman dan cium tangan pada setiap guru yang ia temui. “Ketika bersalaman dengan guru, saya merasa adem, tenang, dan senang, berbeda dengan bersalaman dengan teman,” kata siswa yang hobi bermusik itu. Bahkan, Adit mengaku bahwa sering kali bersalaman menjadi hal refleks, tanpa sadar langsung dilakukan.
Tak hanya di lobi, bersalaman dan cium tangan selalu dilakukan siswa SMANAS, baik di luar maupun di lingkungan sekolah. Di dalam kelas, di kantin, di koridor kelas, di tempat parkir, dan di mana pun siswa bertemu guru. Lima puluh kali dalam sehari siswa berpapasan dengan guru, maka lima puluh kali juga siswa bersalaman dengan guru. Bahkan, siswa kelas atlet bersalaman dan cium tangan guru ketika berada di lapangan. Sering kali perbuatan tersebut mendapat perhatian dari orang-orang sekitar. Sebelum dan selesai bertanding, para atlet bisa dipastikan bersalaman dan cium tangan guru yang hadir di lapangan. Yogi Amirul Masrukin mengaku tidak aneh bersalaman dan cium tangan guru ketika di lapangan. “Bagi saya, itu adalah bentuk penghormatan atas kehadiran dan dukungan beliau,” kata salah satu atlet voli SMANAS ini.
Senada dengan Adit dan Yogi, Maret Tika Wulandari mengaku dirinya bersalaman dan cium tangan guru agar mendapat berkah. Maret meyakini bahwa bersalaman dengan orang tua dapat memeroleh restu. “Restu orang tua mendatangkan restu Allah, dan guru adalah orang tua di sekolah,” tutur siswa X IPS 2 itu.
Pak Rusdi menjelaskan, bersalaman merupakan salah satu indikator kepatuhan. “Patuh pada Tuhan, patuh pada orang tua, dan keyakinan bahwa bersalaman merupakan media ampuh menuju sukses,” terangnya. Bersalaman dengan guru dan kesuksesan memiliki hubungan yang sejajar. Semakin banyak bersalaman dengan guru, semakin tinggi kesempatan sukses. Sebab, kesukarelaan, keridaan, kebahagiaan, dan doa tujuh malaikat yang hadir seiring bersalamannya siswa dengan guru dapat mengantarkannya menuju sukses.
Budaya bersalaman dan cium tangan siswa SMANAS mendapatkan respons baik dari Nur Hayati, S.Pd., M.Ed., dosen Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang. Kala itu, Bu Nur sedang melakukan penelitian tentang evaluasi materi untuk membuat buku. Sepanjang berjalan dari gerbang sampai ruang XII IPA 2, secara bergantian siswa yang berpapasan dengannya pasti menjabat dan mencium tangannya. “Anak-anak di sini sopan sekali karena semua selalu bersalaman saat bertemu,” tuturnya. Bu Nur mengaku terkesan karena tak hanya ketika datang, saat pulang pun siswa SMANAS masih saja bersalaman dengannya.
Pak Rusdi sadar, kegiatan bersalaman itu jika dilihat dari aspek terganggu, tentu sebenarnya mengganggu. Ada kalanya siswa atau guru sedang sibuk mengerjakan sesuatu, tapi harus menghentikan kegiatan tersebut untuk bersalaman. Namun, esensinya bukan mengganggu atau tidak mengganggu. Beliau menganalogikan dengan salat. Dalam salat, yang butuh bukan Tuhan, tapi manusia. Begitu pula dengan bersalaman. Yang butuh bukan guru, tapi siswa. Beliau berharap agar guru-guru SMANAS tidak merasa jenuh disalimi siswa karena itu merupakan investasi mereka menuju sukses. “Karena keyakinan-keyakinan tersebut, bersalaman tidak hanya budaya, tetapi kebutuhan,” tegasnya.
Harapan Pak Rusdi disambut baik oleh bapak dan ibu guru SMANAS, salah satunya Evien Hikmawati, S.Pd. Guru Matematika tersebut mengaku, selama ini beliau tidak pernah merasa terganggu jika ada siswa menjabat dan mencium tangannya. Justru dengan bersalaman, beliau dapat mendoakan kesuksesan siswa. “Setiap mereka mencium tangan kita, terselip doa buat kesuksesan mereka,” tutur Bu Evien. (bya)